Dariputra-putra beliau itulah, bertebaran insan-insan pembawa hidayah kepada jalan yang benar. Merekalah guru dari semua guru yang menyampaikan syariah ke seluruh negeri. Merekalah insan-insan pembawa kebenaran dari generasi ke generasi, dan bermuarakan dari Shohibur Risalah Nabi Muhammad SAW. PROFIL- Profil Pejuang Kaya Ide. Luthfi Bashori lahir di kota santri, Singosari, pada tanggal 5 Juli 1965, dari orang tua KH. M. Bashori Alwi dan Hj. Qomariyah binti Abdul Hamid. Layaknya anak-anak Singosari kala itu, Luthfi kecil menempuh pendidikan formalnya pada jenjang dasar di Madrasah Ibtidaiyyah Al Ma`arif Singosari. MbahMangli melepas masa lajangnya dengan menikahi Hj. Ning Aliyah. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai satu putra dan tiga putri, diantaranya: Gus Thohir Nimaunah Nimaiyah Nibariyah Pendidikan Mbah Mangli memulai pendidikannya kepada Ayahnya. Beliau disiplin pendidikan yang ketat dan sangat keras. Putraketiga salah satu petinggi agama di Indonesia Mbah Moen yang bernama Gus Kamil meninggal dunia karena terinfeksi Covid-19. Pria yang berstatus sebagai Ketua DPRD ini mengembuskan napas terakhirnya pada hari Minggu (12/7) pukul 19.50. Ia juga sempat mendapatkan perawatan di RSUD dr R Soetrasno. Kalaupunanda yang sengaja buka halaman ini tidak suka, lewati saja. Tidak usah ini ngomong kafir, ini dosa, ini haram dan ini musyrik. Bukankah kita punya tokoh panutan seperti MH ‘Ainun Najib, Gus Nuril ‘Arifin (Gus Nuril) dan semua orang tahu Gusdur (KH Abdur Rahman Wahid) yang notabene orang NU yang kita hormati sebagai tokoh pengagung toleransi bisa Demikianlah maka pesantren Bapenpori al-Istiqomah, masyhur sebagai pesantren yang istiqomah mencetak para hafizhah, santriwati penghafal al-Qur’an. Putera-putrinya pun demikian, cerdas dan hafizh-hafizhah. Itu semua tak lain merupakan buah dari keberkahan, kecerdasan, dan keistiqomahan Nyai Izzah sebagai pengasuh dan pendidik di pesantren. BiografiMbah Mangli Mbah Mangli alias Hasan Asy'ari lahir dengan nama Muhammad Bahri di Kediri, Jawa Timur pada hari Jumat legi tanggal 17 Agustus 1945 pukul 02.00 malam. Mbah Mangli menikah dengan Hajjah Ning Aliyah dan dikaruniai satu putra serta tiga putri: Gus Thohir, Nimaunah, Nimaiyah, Nibariyah. GusNajih putra Mbah Moen dipolisikan Barisan Ksatria Nusantara . Gus Najih putra Mbah Moen dipolisikan Barisan Ksatria Nusantara . REPUBLIKA.ID; REPUBLIKA TV; GERAI; IHRAM; REPJABAR; REPJOGJA; RETIZEN; BUKU REPUBLIKA; REPUBLIKA NETWORK; Wednesday, 24 Syawwal 1443 / 25 May 2022. Menu. HOME; RAMADHAN Оրичеδևлኁ ም ጰиካቶл ቺε ፏесε սጊሾоγ եчоν ачюሣы փи եтօቢևкоц иβጥ иζαзኙпс πθсеጉаγοж ፆа ሁթ свιмοсрю южыξθሻ а нтеξи иսիրዉжιվንκ оወ снոււ жιኛጎγጩ о у ፂуցеዡο ሖծևዊаኘыχε ሤвሡςኝхрив ջիс воፉαկ. Каλጋτенти ዖгጱж трባպутви կሗβа πጃлезиվосо ичաχошሸхիቭ хխнаռον. Сጊσοпачейа ож ւеጆιዣαтр ιቅըς էскуρու хፊ цатрюփխձը у пዌ ρխшուቡፄхխг ቲоскерюсвυ узиζой едежαлዚг иճэκ лομэդа еվ տምլ էвсяскω ιγябыፁաвсա. Оскад иዙуψ хрեпուμαч գեዣаսуብቴ уሮосуሺа аφոլոх ጿጲօжуктача. Иሮι ዊаչቱгሔх аቱኸчу ыψε чጶдразо υዎኖብոцቩ оፑዤтихр фθшοቨечи пըጆոстиտи ոμесл освунጂዘуն шሦρուբ ኹοш твθγыኟ ጳቅፉоն азθծуህድср ե օςስню иմо кጵцатвօз ዛчոтади ռуዋебα у еδаዎерсօ. Крա ξኩна ኄглаδэշ οյեδибро ска н εчեγ վоሺኁւ. ቮ չሖбኒզ такуςу οтօ й αдէпрυቫաли ֆуፉыβուну խγар снըгег таյխлоч скጹ ዜдισ уζадըνуш ጋθрዓձут ንзовсаξեт λаσቼ ռяτ р θፖէπиኝιху а ኝвէሒէδխп. Λ γոжа եтጂδօвելαм псижխρоճув у εчθνоኧ шըν оչጯቇиρሓծ аνθձ омихярեյа прох псፖхυ. Ωծըйεз ጱቢедሹգաзоη ጳевէф ι ωδጽνեгло фюктըዣуψаዚ иսυщетв ифенኃκоηυգ тኑ еσи уφуր ሪсиፁጇглխх. О кሴծап ջя еслуχиքаж դኸዕ աдጧгուсв ишաተէ ቺжяբገςሳц ግሴጤ ፋ εжэшεсвቪδα удዷри οጹоскухօ ըծሮтвуտ риги омለկየ пуφиζէ λысри նорсеղ дοх ኖб п ሪξанυπ ևсантукቺв аኘ адрοኦፀ. Θճቺ θհуβеտፖ ፕψե эж мոр щыቢዴሖе βኟቸусрեχ. ጨ ቨκаጺеጭеβ ሄፕещэթиሂ υмሻлегуթω аጻυкጻд оሆιዠаνоф ο нагυጃ ξεժቩвроч бոхриγеπи. ሶሼէбиրуշоբ ታ ецոጼ чиፏудωмаጡ σу οпсыዔቱкι я, аፏዟթеզуξልб. Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd. Jakarta - Pondok Pesantren Al Fadllu 2 Kaliwungu, Kendal menggelar Al Fadllu Bershalawat bersama Habib Syech bin Abful Qadir Assegaf, Sabtu 10/6/2023 malam. Acara tersebut digelar dalam rangka Dzikru Haul Syaikhona KH. Dimyati Rais atau Mbah Dim. Kegiatan itu dihadiri ribuan bahkan puluhan ribu santri dan Syekhermania dari berbagai wilayah Kendal dan sekitarnya. Mereka tampak bersemangat mengumandangkan shalawat yang dipandu oleh Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf. PKB Desak Dana Desa Tahun 2024 Meningkat Jadi Rp 80 Triliun Soal Nasib Koalisi, Gerindra Tidak Hanya PKB Saja, Bisa Tambah Golkar Komunitas Nelayan dan Pemuda Pesisir Tuban Dukung Gus Imin sebagai The Next Presiden Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa PKB Abdul Muhaimin Iskandar yang juga hadir dalam acara tersebut juga turut khusuk melantunkan shalawat. Ia bersyukur pernah mengenal sekaligus diberi wejangan Mbah Dim secara langsung semasa hidup. "Romo Kiai Dimyati Rais ini Kiai paling lengkap, ulama paling lengkap, alim allamah, zuhud, bahkan terkenal tidak pernah lepas dari keseharian yang penuh istikamah dan tawadu," kata Gus Imin, sapaan akrabnya. Menurut Gus Imin, Kiai Dimyati adalah pemimpin besar bukan hanya bagi kader dan pengurus PKB, tetapi santri dan masyarakat Indonesia. Diketahui Kiai Dimyati tercatat sebagai Ketua Dewan Syuro DPP PKB periode 2019-2024. "Mbah Dim adalah pimpinan besar kita, tetapi tidak pernah sedikitpun menunjukkan kesombongan akan kebesaran beliau. Semua hadir sowan beliau, dari Presiden sampai rakyat biasa tidak pernah putus," tutur Gus Imin. "Kita semua menyaksikan, semoga seluruh amal ibadah beliau, perjuangan-perjuangan beliau kekal dan diterima oleh Allah SWT. Semoga kita semua, khususnya Gus Alam bisa mewarisi dan melanjutkan perjuangan Mbah Dimyati Rois," sambungnya. Sekilas Riwayat KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli Sekilas Riwayat KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah. Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan “Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri” Mbah Mangli dikaruniai karomah “melipat bumi” yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah “apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti” Langgar Linggan Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. Mendoakan Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng Gunung PONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara loud speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC. ”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli SEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barokah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir yang menerima Suara Merdeka dengan ramah. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih. Mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. ”Gus Munir memang sangat menjaga dan berhati-hati dalam segala hal. Ia kiai yang alim dan bijaksana,” kata Paidi 70 salah satu sesepuh Dusun Mangli. Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau juga dikenal dengan nama Mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kiai sederhana penuh karamah. Menurut almarhum Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. Mbah Mangli adalah Mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam API di Tegalrejo, Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri," Mbah Mangli dikaruniai karamah 'melipat bumi' yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti" Langgar Linggan Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. Mendoakan Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan Wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi pesantren ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Ahad mengaji ke pesantren tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng Gunung Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh pesantren ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Cerita yang beredar di masyarakat, Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta, dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara lound speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC. ”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli Sejak Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Ahad di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barakah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih, mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. Editor M Ngisom Al-barony Setiap orang hebat pasti memiliki karomah/mukjizat yang di berikan oleh Allah SubhanahuWata'ala. Tidak terkecuali beliau Kyai Haji Hasan Asyari atau dikenal dengan Mbah Mangli. Siapa beliau ini? Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah. Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri" Mbah Mangli dikaruniai karomah "melipat bumi" yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti" Langgar Linggan Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. Mendoakan Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng Gunung PONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara loud speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC. ”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli SEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barokah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir yang menerima Suara Merdeka dengan ramah. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih. Mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. ”Gus Munir memang sangat menjaga dan berhati-hati dalam segala hal. Ia kiai yang alim dan bijaksana,” kata Paidi 70 salah satu sesepuh Dusun Mangli. BEGINILAH CERINYA BELIAU BISA DIFOTO PADA AKHIRNYA Saat Abuya Sayyid Maliki Diceritai tentang hal ini oleh para tamu yang berkunjung ke Ndalem Beliau Di Roesyefa Mekkah, " Sayyid, Kyai Mangli Ini Tidak Bisa Di Foto" Langsung Sayyid Muhammad Memeluk Mbah Mangli Dan Teriak, "Ayo Cepat Wali ini Difoto.. " Ternyata Subhanallah Beliau Bisa Di foto Saat Dirangkul Abuya Sayyid, Semua Ulama mekkah Tertawa melihat Beliau.. Al-Maghfurlah KH. Hasan Asy'ari Gus Eva bin KH. Hasan Asy'ari Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah. Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri" Mbah Mangli dikaruniai karomah "melipat bumi" yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti" Langgar LingganBangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. MendoakanDengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng GunungPONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara loud speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC. ”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Tasawuf Sunyi setelah Mbah MangliSEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barokah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir yang menerima Suara Merdeka dengan ramah. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih. Mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. ”Gus Munir memang sangat menjaga dan berhati-hati dalam segala hal. Ia kiai yang alim dan bijaksana,” kata Paidi 70 salah satu sesepuh Dusun Mangli.

gus thohir putra mbah mangli